Kamis, 25 Desember 2008

anak bio 06


Welcome To My Blogs

profil
Nama: nurrijal, asal kendari tapi ada campuran makasar juga lho...
kuliah di universitas negeri gorontalo jurusan biologi...
hobi: main basket ama musik...
karna manusia adalah mahluk sosial makannya saya suka bergaul ama syapa aja yang penting baik...

salam kenal dan salam konservasi

salinitas kepiting bakau

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting ini disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan 2002). Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif. Berdasarkan pertimbangan kontinyuitas produksi, maka perlu dikembangkan budidaya kepiting bakau secara terkontrol. Guna menunjang usaha budidaya kepiting yang efektif, efisien dan menguntungkan secara ekonomis maka perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat biologis kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya mem-berikan pertumbuhan yang maksimal.

Seperti organisme perairan lainnya, pertumbuhan kepiting bakau hanya dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah energi yang dikonsumsi dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Dengan demikian, partumbuhan kepiting akan semakin meningkat apabila energi bersihnya semakin meningkat atau energi yang dimetabolisme tetap atau semakin menurun. Adanya perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap besaran energi yang dikonsumsi, dapat lebih besar atau lebih kecil daripada energi yang dimetabolisme, sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan energi tubuh.

Metabolisme merupakan segala proses reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh organisme yang meliputi anabolisme dan katabolisme. Konsumsi oksigen merupakan salah satu parameter fisiologis yang dapat digunakan untuk menaksir laju metabolisme secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi. Dalam proses ini mendapat, mengubah dan memakai senyawa kimia dari sekitarnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup (Wirahadikusumah, 1985). Konsumsi oksigen pada krustase dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, cahaya, status makanan dan karbondioksida. Faktor internal adalah spesies, stadia, bobot, aktivitas, jenis kelamin, reproduksi, dan molting (Kumlu et al. 2001; Verslycke dan Janssen 2002; Villareal at al. 2003).

Salinitas merupakan masking factor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak terhadap organisme (Gilles dan Pequeux, 1983; Ferraris et al., 1986). Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk metabolisme dapat diminimalisir.

Pengetahuan masyarakat tentang pengaruh salinitas dan bobot kepiting bakau (Scylla sp) terhadap proses laju metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) di perairan akuatik yang berada pada substrat baik keras maupun yang lunak, masih sangat terbatas yaitu berupa petunjuk-petunjuk teknis terkait peningkatan kepiting bakau (Scylla sp) dalam ekosistemnya, hal ini disebabkan karena masih kurangnya instansi atau lembaga yang melakukan penelitian ini, khususnya di Kawasan Hutan Mangrove yang terdapat di Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas guna mendapatkan gambaran tentang laju metabolisme kepiting bakau (Scylla sp) yang ada pada berbagai salinitas dan bobot kepiting bakau (Scylla sp) maka dilakukan penelitian dengan formulasi judul:

”Pengaruh Salinitas Dan Bobot Terhadap Laju Metabolisme Dalam Konsumsi Oksigen Kepiting Bakau (Scylla sp) Di Kawasan Perairan Akuatik Hutan Bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara ”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uaraian di atas maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu:

  1. Bagaimanakah pengaruh salinitas terhadap konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin (aktivitas) di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
  2. Bagaimanakah pengaruh bobot tubuh kepiting bakau terhadap konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas dan bobot tubuh kepiting terhadap konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin (aktifitas), di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

1.2 Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini dilakukan, maka dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan informasi bagi usaha pengembangan kepiting bakau terutama aspek budidayanya.
  2. Dapat memberikan imformasi ilmiah bagi petani kepiting (Scylla sp) dan instansi terkait tentang pengaruh salinitas dan bobot terhadap laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin di perairan akuatik kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
  3. Sebagai bahan masukan untuk mata kuliah Biokimia dan mata kuliah Fiswan tentang laju metabolisme dalam konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondisi basal, makan, dan rutin.
  4. Sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Jurusan Biologi untuk melakukan penelitian.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Kepiting

Kepiting adalah binatang crustacean berkaki sepuluh dari infraorder Brachyura, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting terdapat di semua samudra dunia. Ada pula kepiting air tawar dan darat, khususnya di wilayah-wilayah tropis. Kepiting beraneka ragam ukurannya, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa milimeter, hingga kepiting laba-laba Jepang, dengan rentangan kaki hingga 4 m.

2.1.1 Struktur Anatomi

Kepiting sejati mempunyai lima pasang kaki; sepasang kaki yang pertama dimodifikasi menjadi sepasang capit dan tidak digunakan untuk bergerak. Di hampir semua jenis kepiting, kecuali beberapa saja (misalnya, Raninoida), perutnya terlipat di bawah cephalothorax. Bagian mulut kepiting ditutupi oleh maxilliped yang rata, dan bagian depan dari carapace tidak membentuk sebuah rostrum yang panjang. Insang kepiting terbentuk dari pelat-pelat yang pipih ("phyllobranchiate"), mirip dengan insang udang, namun dengan struktur yang berbeda.

2.1.2 Jenis Kepiting Bakau

Jenis kepiting bakau yang mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain :

1. Scylla serrata, jenis ini mempunyai ciri warna keabu-abuan sampai warna hijau kemerah-merahan.

  1. Scylla oceanica, berwarna kehijauandan terdapat garis berwarna coklat pada hampir seluruh bagian tubuhnya kecuali bagian perut.

3. Scylla transquebarica, berwarna kehijauan sampai kehitaman dengan sedikit garis berwarna coklat pada kaki renangnya.

Dari ketiga jenis kepiting tersebut diatas, Scylla serrata pada umur yang sama umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan kedua jenis lainnya. Tetapi dari segi harga dan minta pembeli, jenis pertama tadi lebih unggul.

2.2 Salinitas

Salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah bahan terlarut dalam air. Dalam pengukuran salinitas turut pula diperhitungkan komponen GH dan KH disamping bahan-bahan terlarut lainnya seperti natrium. Informasi kadar salintas sangat penting artinya dalam akuairum laut. Sedangkan dalam akuarium air tawar mengetahui pH,KH dan GH sudah memadai.

Salinitas pada umumnya dinyatakan sebagai berat jenis (specific gravity), yaitu rasio antara berat larutan terhadap berat air murni dalam volume yang sama. Rasio ini dihitung berdasarkan konidisi suhu 15°C. Pengukuran salinitas dalam kehidupan sehari-hari biasanya menggunakan hydrometer, yang telah dikalibrasikan untuk digunakan pada suhu kamar. Salah satu komponen salinitas yang tidak tercakup baik oleh KH dan GH adalah kadar natrium. Beberapa ikan air tawar dapat menerima (toleran) kehadiran sejumlah kecil natrium dalam bentuk garam. Bahkan sampai tahap tertentu digunakan sebagak terapi pengobatan akibat parasit seperti ich. Sedangkan beberapa spesies yang lain sama sekali tidak toleran terhadap garam. Jenis-jenis ikan tidak bersisik dan corydoras diketahui sangat sensitif terhadap garam dibandingkan dengan kebanyakan ikan air tawar lainnya. .

Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine. Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%.

Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas, dengan didasarkan bahwa halida-halida—terutama klorida—adalah anion yang paling banyak dari elemen-elemen terlarut. Dalam oseanografi, halinitas biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam “bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram garam untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada rasio konduktivitas elektrik sampel terhadap "Copenhagen water", air laut buatan yang digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar [3][4]. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram garam per liter larutan.

Salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah bahan terlarut dalam air. Dalam pengukuran salinitas turut pula diperhitungkan komponen GH dan KH disamping bahan-bahan terlarut lainnya seperti natrium. Informasi kadar salintas sangat penting artinya dalam akuairum laut. Sedangkan dalam akuarium air tawar mengetahui pH,KH dan GH sudah memadai. Salinitas pada umumnya dinyatakan sebagai berat jenis (specific gravity), yaitu rasio antara berat larutan terhadap berat air murni dalam volume yang sama. Rasio ini dihitung berdasarkan konidisi suhu 15°C. Pengukuran salinitas dalam kehidupan sehari-hari biasanya menggunakan hydrometer, yang telah dikalibrasikan untuk digunakan pada suhu kamar.

Salah satu komponen salinitas yang tidak tercakup baik oleh KH dan GH adalah kadar natrium. Beberapa ikan air tawar dapat menerima (toleran) kehadiran sejumlah kecil natrium dalam bentuk garam. Bahkan sampai tahap tertentu digunakan sebagak terapi pengobatan akibat parasit seperti ich. Sedangkan beberapa spesies yang lain sama sekali tidak toleran terhadap garam. Jenis-jenis ikan tidak bersisik dan corydoras diketahui sangat sensitif terhadap garam dibandingkan dengan kebanyakan ikan air tawar lainnya.

Suhu dan Salinitas

Merupakan parameter yang sangat penting apabila kita menyelidiki tentang asal-usul dari air tersebut. Kedua parameter ini menentukan densitas air laut. Perbedaan densitas antara dua tempat akan menhasilkan perbedaan tekanan yang kemudian memicu aliran massa air dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Disamping itu, dengan menggambungkan suhu dan salinitas dalam suatu diagram (dikenal sebagai T-S diagram) kita dapat melacak asal-usul dari massa air tesebut.

Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh:

  1. radiasi surya
  2. posisi surya
  3. letak geografis
  4. musim
  5. kondisi awan
  6. serta proses antara air tawar dan air laut (seperti alih bahang, penguapan , hembusan angin.

Salinitas juga dipengaruhi oleh:

  1. lingkungan (muara sungai atau gurun pasir)
  2. musim
  3. interaksi antara air dan udara (penguapan dan hembusan angin, percampuran antara sungai dan laut, dan interaksi antara laut dengan daratan/gunung es).

Salinitas didefinisikan sebagai berikut:

Sebagai jumlah kandungan garam dari suatu perairan, yang dinyatakan dalam permil. Kisaran salinitas air laut antara 0 – 40 ‰, yang berarti kandungan garam berkisar antara 0 – 40 g/kg air laut.

2.3 Metabolisme

Metabolisme merupakan modifikasi senyawa kimia secara biokimia di dalam organisme dan sel. Metabolisme mencakup sintesis (anabolisme) dan penguraian (katabolisme) molekul organik kompleks. Metabolisme biasanya terdiri atas tahapan-tahapan yang melibatkan enzim, yang dikenal pula sebagai jalur metabolisme. Metabolism total merupakan semua proses biokimia di dalam organisme. Metabolisme sel mencakup semua proses kimia di dalam sel. Tanpa metabolisme, makhluk hidup tidak dapat bertahan hidup. Produk metabolisme disebut metabolit. Cabang biologi yang mempelajari komposisi metabolit secara keseluruhan pada suatu tahap perkembangan atau pada suatu bagian tubuh dinamakan metabolomika.

Laju Metabolisme Basal

Basal Metabolism Rate (BMR) merupakan ukuran dari energi yang dibutuhkan untuk memelihara tubuh saat beristirahat. Ukuran tersebut merupakan jumlah keseluruhan energy yang digunakan dalam aktivitas mekanik internal, seperti bernapas, sirkulasi, pembentukan bagian organik penting, pemompaan ion melalui membran, dan penjagaan suhu tubuh.

Pada umumnya, BMR dipengaruhi oleh :

a. Karakteristik fisik tubuh, seperti :

  1. Bentuk dan komposisi tubuh,
  2. Aktivitas fisik individu,
  3. Jenis kelamin,
  4. Umur,
  5. Sekresi kelenjar endokrin,
  6. Suhu tubuh normal.

b. Kondisi lingkungan, seperti :

  1. Kenyamanan posisi saat tidur,
  2. Terbangun tidak bergerak,
  3. Temperatur ruangan yang nyaman,
  4. Tertidur 12-14 jam setelah makan.

Yang membutuhkan kontribusi terbesar dalam metabolisme basal adalah saraf, karena setengah dari energi digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme saraf . 27% dari saraf digunakan hati untuk menjalankan reaksi yang berkaitan dalam pembentukan glukosa dan keton yang berfungsi sebagai bahan bakar untuk otak. Komponen variabel yang paling besar dalam kebutuhan energi total adalah aktivitas fisik jaringan yang memerlukan sekitar 60% dari kebutuhan energi total. Namun pada seorang atlit, komponen variabel yang besar adalah Resting Metabolism Rate. Perbedaan tersebut tergantung pada kontribusi aktivitas individu.

Laju metabolisme basal (BMR) adalah ukuran digunakan untuk menghitung energi yang digunakan seseorang selama 24 jam pada saat tidur atau sekedar berbaring dengan rentang waktu 12 jam terakhir makan. Sedangkan laju metabolisme istirahat merupakan pengukuran yang digunakan untuk menghitung energi seseorang selama 24 jam setelah terakhir makan 3-4 jam yang lalu. Yang paling sering digunakan dalam preaktek klinik adalah laju metabolisme isirahat (RMR). Karena perhitungan ini lebih mudah dilakukan, tidak butuh waktu yang lama, dan tanpa perlu menyuruh individu untuk berpuasa terlebih dahulu. Hanya saja, hasil RMR menjadi sedikit lebih tinggi dari BMR, sekitar 10%-20% karena energi masih dikeluarkan saat proses pencernaan, penyerapan, dan semua yang berkaitan dengan metabolisme makanan.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Pengambilan Sampel Dan Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel untuk penelitian ini direncanakan di kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Lokasi pengambilan sampel terdiri atas 2 stasiun pengamatan. Adapun penelitiannya akan dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Jurusan Pendidikan Biologi F. MIPA Universitas Negeri Gorontalo.

3.1.2 Waktu Pengambilan Sampel Dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel untuk penelitian ini dilaksanakan selama 3 hari pada Minggu pertama di Bulan Mei 2009. Dan untuk waktu penelitiannya akan dilaksanakan selama 1 Minggu yaitu pada Minggu kedua di Bulan Mei 2009.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan kepiting bakau (Scylla sp) pada perairan/akuatik yang hidup pada substrat baik keras maupun yang lunak yang terdapat di kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

3.3 Metode Pengambilan Sampel dan Metode Penelitian

3.3.1 Metode Pengambilan Sampel

Jenis pengambilan sampel untuk penelitian ini adalah natural ekperiment (eksperimen alami) dengan menggunakan metode Line Transek dengan pendekatan deskriptif. Karena wilayah penelitian (Kawasan hutan bakau yang terdapat di Desa Muolo Kecamatan Kwandang) ini memiliki luas 200 Ha, maka untuk pengambilan sampel dibuat 2 stasiun pengamatan dengan masing-masing stasiun terdiri dari 2 transek dan masing-masing transek terdiri atas 3 plot pengamatan. Line transect tersebut dibuat tegak lurus memotong garis pantai sedangkan panjang garis/line transek 100 m yang terbagi dalam 3 plot/kuadrant dengan ukuran plot masing-masing 10 x 10 meter.

3.3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian ini merupakan eksperimen dengan menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing mempunyai 3 ulangan. Dengan demikian pada penelitian ini terdapat 12 unit percobaan. Analisis Data Metoda statistik Analisis Ragam (ANOVA) Satu arah dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) akan digunakan untuk menganalisis masing-masing perlakuan (Sokal & Rohlf 1981; Fowler & Cohen 1990). Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan program komputer Minitab ®.

3.4 Alat Dan Bahan

3.4.1 Alat Dan Bahan Pengambilan Sampel Penelitian

Dalam pengambilan sampel penelitian ini alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Role Meter, untuk membuat plot (kuadrant)

2. Salino meter, untuk mengukur salinitas/kadar garam air laut.

3. GPS (Global Position System), untuk menetukan titik koordinat wilayah pengambilan sampel di peta.

4. Sling Psikometer, untuk menentukan kelembaban udara dari wilayah sampel

5. Soil tester, untuk menetukan pH tanah dari wilayah pengambilan sampel

6. Lux Meter, untuk menetukan intensitas cahaya dari wilayah sampel

7. Kunci Determinasi/identifikasi untuk jenis kepiting bakau (Scylla sp)

8. Kamera alat untuk dokumentasi.

9. Peta Wilayah, untuk mengetahui wilayah tempat pengambilan sampel.

10. Alat pengukur tekstur tanah yang digunakan untuk analisis sifat tekstur tanah.

3.4.2 Alat Dan Bahan Dalam Penelitian

Dalam penelitian ini alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Wadah berupa stoples plastik bervolume 16 L yang dirancang dengan sistem sirkulasi.

2. Dissolve Oxygen Meter (DO-Meter), alat ukur laju konsumsi oksigen kepiting.

3. Spektrofotometer, untuk mengukur besar kandungan amoniak (nitrit).

4. Magnetic Stirrer, alat pengaduk.

5. Termostat alat pengukur suhu.

6. Hewan uji adalah kepiting bakau (S serrata) berukuran bobot 20, 40, 60, dan 80 gram.

7. Air laut bersalinitas 35 ppt.

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Prosedur Kerja Pengambilan Sampel Penelitian

Sebelum melaksanakan prosedur penelitian di Laboratorium, terlebih dahulu melaksanakan prosedur kerja dalam pengambilan sampel penelitian, adapun prosedur kerja yang akan dilaksanakan pada pengambilan sampel penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan Observasi:

2. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keandaan atau kondisi kepiting bakau (Scylla sp) di kawasan hutan bakau di Daerah Muolo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.

3. Melakukan tahap pengambilan sampel penelitian:

Adapun tahap-tahap pengambilan sampel penelitian yang akan dilakukan antara lain sebagai berikut:

1. Menentukan titik masing-masing wilayah yang menjadi wilayah sampel penelitian dan menentukan titik koordinatnya pada peta dengan menggunakan GPS (Global Position System).

2. Membuat jalur transek sepanjang 100 m dengan menggunakan role meter dengan ukuran masing-maisng Plot/kuadrant 10 x 10 meter.

3. Mengambil data jenis kepiting bakau (Scylla sp) pada masing-masing zonasi hutan mangrove.

4. Menentukan jenis-jenis kepiting bakau (Scylla sp) dengan menggunakan kunci determinasi/kunci identifikasi.

5. Mengukur kelembaban udara dari wilayah sampel yang menjadi lokasi penelitian dengan menggunakan slingk Meter.

6. Mengukur intensitas cahaya dari dari wilayah sampel yang menjadi lokasi penelitian dengan menggunakan lux Meter.

7. Mengukur pH tanah dari wilayah sampel yang menjadi lokasi penelitian dengan menggunakan Soil Tester.

8. Mengukur salinitas air pada setiap zonasi hutan mangrove dengan menggunakan salino meter.

9. Mengukur tekstur tanah dengan menggunakan alat pengukur tekstur tanah.

Sampling Desain

Gambar Garis Transek




Arah Transek








Gambar Ukuran Plot

10 m

10 m

3.5.2 Prosedur Kerja Penelitian Di Laboratorium

Penelitian ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan setiap perlakuan masing-masing mempunyai 3 ulangan. Dengan demikian pada penelitian ini terdapat 12 unit percobaan. Dalam penelitian ini menggunakan wadah berupa stoples plastik bervolume 16 L yang dirancang dengan sistem sirkulasi. Wadah tersebut dilengkapi dengan alat pengatur suhu (termostat). Sebagai hewan uji adalah kepiting bakau (Scylla sp) berukuran bobot 20, 40, 60, dan 80 gram. Kepiting ditebar dengan kepadatan 1 ekor per wadah pada setiap perlakuan berdasarkan bobot tubuh kepiting. Sumber air yang digunakan terdiri atas air laut bersalinitas 35 ppt, yang diperoleh di pesisir pantai kawasan hutan bakau Desa Moluo Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara. Untuk mendapatkan media perlakuan sesuai dengan salinitas yang diinginkan maka dilakukan teknik pengenceran dengan air tawar.

Sebagai perlakuan adalah perbedaan salinitas media yaitu : (A) 5; (B) 15; (C) 25 dan (D) 35 ppt. Peubah yang diukur adalah konsumsi oksigen pada kondisi basal, kenyang, dan rutin (aktivitas), konsumsi oksigen pada kondisi basal ditentukan melalui pengukuran tingkat konsumsi oksigen setelah kepiting uji terlebih dahulu dipuasakan selama 48 jam. Untuk kondisi kenyang, pengukuran konsumsi oksigen dilakukan pada saat sesudah kepiting makan kenyang (feeding maximun) dan dipantau selama 24 jam, sedangkan untuk aktivitas rutin diukur dalam keadaan kepiting tetap diberi pakan dan melakukan aktivitas hariannya. Pakan yang diberikan adalah ikan rucah sebanyak 5% dari bobot tubuh. Frekuensi pemberian dilakuan dua kali sehari.

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika kimia air media penelitian meliputi: suhu, pH, amoniak, dan nitrit. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer, pH dengan pH meter dan amoniak dengan menggunakan spektrofotometer.

Pengukuran Konsumsi Oksigen

Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan dengan cara mengukur oksigen terlarut di dalam air wadah percobaan sesudah hewan uji dimasukkan. Pengukuran tersebut menggunakan "Dissolve Oxygen Meter" (DO-Meter). Sebelum pengukuran, hewan uji akan ditempatkan di dalam wadah percobaan yang beraerasi dan dilengkapi dengan pengaduk (Magnetic Stirrer) dengan perlakuan yang berbeda-beda untuk setiap wadah selama waktu yang telah ditentukan sebagai periode aklimatisasi pengukuran. Setelah periode tersebut, kemudian oksigen terlarut di dalam wadah diukur dan hasilnya dicatat sebagai data oksigen terlarut awal (C aw ). Selanjutnya, wadah ditutup rapat dengan menggunakan penjepit (dimungkinkan tidak ada udara yang keluar masuk di dalam wadah selama percobaan). Dalam keadaan ini hewan uji dibiarkan (tanpa gangguan) selama waktu yang ditetapkan untuk setiap perlakuan. Pada akhir waktu yang telah ditetapkan, oksigen terlarut diukur kembali dan hasilnya dicatat sebagai data oksigen terlarut akhir (C ak ).

3.2 Prosedur Analisis Data

Paramater laju metabolisme konsumsi oksigen kepiting bakau (Scylla sp) yang digunakan dalam penelitian ini adalah merupakan laju konsumsi oksigen (R) yang diperoleh dari data pengukuran oksigen terlarut (awal dan akhir). Laju Konsumsi oksigen (R) tersebut dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Johnson (1973), sebagai berikut:

R = [ (C aw – C ak ) . V. 700] . [ t . w ] -1, dimana:

R adalah laju konsumsi oksigen (L. h -1 . g -1 berat bersih),

C aw adalah nilai konsentrasi oksigen terlarut awal (ppm),

C ak adalah nilai konsentrasi oksigen terlarut akhir (ppm),

700 adalah faktor konversi (untuk oksigen, 1 ppm = 700 L/L),

V adalah volume air dalam wadah (liter),

T adalah waktu (jam), dan

w adalah berat bersih.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Metoda Statistik Analisis Ragam (ANOVA) Satu arah dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) akan digunakan untuk menganalisis masing-masing perlakuan (Sokal & Rohlf 1981; Fowler & Cohen 1990). Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan program komputer Minitab ®. Hipotesis sederhana yang dikemukakan pada percobaan ini adalah Ho Perlakuan tidak memberi pengaruh nyata pada konsumsi oksigen; H1 : Perlakuan memberi pengaruh nyata pada konsumsi oksigen. Jika hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang berbeda secara nyata atau sangat nyata maka akan dilanjutkan dengan Uji-Tukey menurut petunjuk Fowler & Cohen (1991) untuk menentukan perlakuan mana yang berbeda nyata dengan control.

Tabel desain pengambilan sampel kepiting bakau (Scylla sp):

Tabel sampel pengamatan pada setiap stasiun, plot/kuadrant dan bobot/berat (gr) kepiting bakau (Scylla sp)

kuadran

stasiun 1

stasiun 2

bobot/berat (gr)

bobot/berat (gr)

plot 1

plot 2

plot 3

plot 1

plot 2

plot 3

Tabel desain penelitian:

Tabel jumlah oksigen pada salinitas air laut sebelum diberi perlakuan dalam kondisi normal (Jumlah oksigen awal)

Salinitas (ppt)

5 ppt

15 ppt

25 ppt

35 ppt

Tabel jumlah oksigen pada salinitas air laut setelah diberi perlakuan dalam kondisi normal (Jumlah oksigen akhir)

Salinitas (ppt)

5 ppt

15 ppt

25 ppt

35 ppt

Tabel pengambilan data laju metabolise konsumsi oskigen kepiting bakau (Scylla sp) pada kondis basal, kenyang, dan kondisi rutin (aktivitas).

Parameter dan Bobot (gr)

Salinitas (ppt)

Kondisi Basal 48 Jam

5 ppt

15 ppt

25 ppt

35 ppt

20 gram

40 gram

60 gram

80 gram

Kondisi Kenyang 24 Jam

20 gram

40 gram

60 gram

80 gram

Kondisi Rutin (Aktivitas) 24 Jam

20 gram

40 gram

60 gram

80 gram

DAFTAR PUSTAKA

Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forsskal) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas Optimum dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kuntiyo, Z. Arifin dan T. Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.

Wirahadikusumah, M. 1985. Bio-kimia : Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid. Penerbit ITB, Bandung.

Zacharia, S. and V.S. Kakati. 2004. Optimal salinity and temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquaculture, 232: 378-382.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Zacharia, S. and V.S. Kakati. 2004. Optimal salinity and temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquaculture, 232: 378-382.

Lemos, D. and V.N. Phan. 2001. Energy partitioning into growth, respiration, excretion exuvia and larval development of the shrimp Farfantepenaeus paulen-sis. Aquaculture, 199: 131-143.

Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Birmingham Publishing Co., Alabama.

Reiber, C. and G.F. Birchard. 1993. Effect of temperature on metabolism and hemolymph pH in the crab Stoliczia abotti. J. Therm Biol 18 (1): 45-92.

Bliss, C. I. 1957. Some principles of bioassay. American Scientist 45:449-466.

Fowler, J. & L. Cohen. 1990. Practical statistics for field biology. John Wiley & Sons. Chichester. 227 hal.